Sunday, November 25, 2018

What Can I Say About Psychology?

Psikologi itu art. Disiplin ilmu yang indah. Semuanya serba bisa jadi. Semuanya memungkinkan. Kadang bisa digeneralisir, kadang spesifik untuk kelompok tertentu. Ada yang concernya spesifik tentang penyembuhan manusia dengan gangguan tertentu, ada yang concernya bagaimana caranya manusia tanpa gangguan serius, atau normal bisa hidup lebih baik lagi. Psikologi ilmu yang membuat aku jatuh cinta sama hakikat ilmu itu sendiri, ilmu yang selalu siap aku pelajari lagi dan lagi dari awal. Ilmu yang bisa membuka obrolan dengan hampir siapapun yang aku temui. Ilmu yang jawaban permasalahannya terkadang bisa dilakukan dengan mencoba observasi ke diri sendiri, diproyeksikan ke diri sendiri. Ilmu yang akan terus dan terus berkembang, mencari berbagai bentuk untuk menggambarkan kondisi manusia seiring perubahan zaman. Ilmu yang nggak kaku, dan menuntut siapapun yang belajar tentangnya untuk lebih open mind. Ilmu yang aplikasinya langsung bisa kamu terapkan untuk orang terdekat. Ilmu yang mengasah simpati, empati dan kemampuan mendengarmu terus menerus. Ilmu yang bisa dikawinkan dengan hampir semua disiplin ilmu lainnya. Ilmu yang perkembangannya tergantung rasa curiosity mu.

Ilmu yang katanya untuk orang lain, tidak untuk dirimu sendiri, but the fact, i know my self better when i study about it. Ilmu yang membuat dirimu harus berpikir panjang sebelum berbicara, sebelum membuat judgement, karena apapun yang kamu ucapkan, orang akan mudah percaya. Karena itu, riset, baca, nulis, adalah hal yang wajib terus menerus kamu lakukan dengan memegang ilmu ini. Ilmu yang kadang membuatmu exhausted, karena kamu tau teorinya, tapi semua kondisi lapangan tidak bisa digeneralisir dengan satu teori. Ilmu yang menuntutmu untuk menolong orang lain, padahal dirimu juga jauh dari sempurna dan terus menerus sedang berproses juga. Ilmu yang membuatmu kadang tidak bisa berdebat banyak, karena kebiasaan melihat satu masalah dari berbagai sudut pandang, dan memahami mengapa ada orang lain yang bersebrangan pendapat denganmu. Psikologi menuntutmu untuk terus menerus belajar, berbenah dan berupaya untuk lebih bermanfaat untuk sekitar.

Lastly, dari aku yang belajar psikologi hampir 7 tahun, long life learner, adalah syarat wajib buat orang yang mau terjun apalagi berprofesi sebagai psikolog. 


OMG, why I'm so mellow in my last month as a psychology student? Hmm

Thursday, November 15, 2018

To Change The World, You Don't Need To Be A Politician, Darling

Ini minggu-minggu demam tesis, demam politik yang semakin heboh, demam duka di negeri ini yang datang terus menerus. Ada beberapa hal yang aku cermati, terutama melihat geliat anak muda dalam kancah perpolitikan.

Menurutku, bagus lah kalau anak muda mau say something dan do something yang dia yakini bener. Dari pada cuma ngomong doang, atau diem aja apatis.

Baguslah kalo anak muda punya cita-cita besar buat negaranya. Buat bangun daerahnya. Bagus banget.

Tapi sedih juga kalo ternyata politik dianggap jadi satu-satunya kendaraan buat mewujudkan itu semua. No baby, no.

Ada hal lain, ada kendaraan lain, yang mungkin efeknya ga secepet politik, tapi lebih nyata. Ada.

Di sisi lain, aku tau sih, pengusaha yang sukses, uda sukses banget lah, bisnis menggurita, pasti ada rasa kosong yang berusaha ia penuhi lewat jalur politik. Waktu kebutuhannya akan duit dan kestabilan bisnis sudah di tangan, muncul kebutuhan baru, kekuasaan. Kebutuhan buat punya power yang besar.

Sejujurnya aku bisa lebih memahami dan memaklumi kalau posisinya seperti itu.

Tapi, kalo tiba-tiba kamu pengen terjun ke politik, dengan semua idealis hidup, angan-angan besar buat negeri ini. Coba pertimbangkan lagi.

Ada banyak opsi lain buat mewujudkan semua keinginanmu itu. Ada jalur wirausaha, akademisi, atau entertaiment dan yang lainnya.

Tapi, karena angan-anganmu besar, ingin membangun daerah, merubah sistem, membangun Indonesia, dan the list go on, kamu nggak bisa jadi pengusaha yang biasa aja, sekedar akademisi, atau jadi artis youtube misalnya.

Jadi pengusaha, atau entrepreneur yang punya impact besar, buka lapangan kerja yang besar, kualitasmu sebagai CEO atau si empunya dengan visi, nilai atau cara menjalani hidup juga harus kamu tularkan ke karyawanmu. Buat budaya organisasi yang bagus, buat bisnis yang manfaatnya besar buat masyarakat. Bayangin aja, misalnya kamu usaha jual ayam tepung gerobakan, karyawan sampe 50 orang di tahun pertama, kamu buat sistem yang melatih mereka buat disiplin dan jujur dalam bekerja. Gajinya layak, ada tunjangan pendidikan buat anak-anaknya, kerja sama dengan lembaga pendidikan yang se-visi denganmu. Bayangkan, dari 50 pegawai, bisa-bisa kamu ikut merubah hidup tidak hanya 50 orang tapi 50 keluarga. Bapaknya jujur dan disiplin, bisa fokus kerja, anak-anaknya dapat layanan pendidikan terbaik. Youre the real hero, darling.

Impactmu nyata, langsung ke action, itu tahun pertama 50 keluarga, bayangkan kalo bisnis ayam tepung nya semakin besar, tahun ke lima sampe 500 pegawai, berarti ada 500 keluarga yang terbantu dengan apa yang kamu lakukan. Dibandingkan dengan jadi politikus misalnya, buat sampe ke posisi yang diincar, mungkin perlu kampanye atau buat personal branding 2-3 tahun. Setelah itu, kamu duduk di kursi parlemen atau pemerintahan, benerin birokrasi sesuai anganmu (itu pun kalau belum tergerus kanan kiri ya), trus menunggu dampak dari birokrasi baru tersebut. Bisa-bisa 5 tahun waktu menjabat, efeknya belum terasa.

Kalau bilang probabilitas sih ya, bener dua-duanya sulit. Dua-duanya harus melewati jalan berduri.

Bisnis nggak bisa langsung tiba-tiba sukses, iya lah.
Politikus nggak bisa langsung tiba-tiba terkenal dan duduk di parlemen, iya lah.

Tapi bentuk-bentuk idealis dan angan-angan besar itu menurutku lebih mungkin tercapai lewat jalur wirausaha dengan impact seperti cerita di atas. Jadi politikus, ranjau yang dihadapi jauh lebih banyak, ditunggangi banyak pihak, rentan tergerus kepentingan lainnya.

Jadi wirausaha, kamu punya hak penuh buat bikin sistem sendiri, bikin aturan sendiri, mengatur impact yang mau kamu timbulkan sebesar apa.

Belum lagi opsi lainnya, jadi akademisi tangguh dan berprinsip misalnya. Kamu bisa melakukan penelitian, mencari penyebab atau efek dari sesuatu kejadian, dengan menegakkan prinsip-prinsip ilmiah. Ada data, ada perhitungan yang bisa dipertanggungjawabkan, hasil penelitian memang nggak semuanya terbukti dan bisa diaplikasikan buat masyarakat langsung. Tapi kamu berada di jalur ilmiah, nggak cuma sekedar opini. Posisimu kuat. Tergantung sejeli apa kamu melihat celah untuk penelitian, dan tujuan penelitianmu. Seberapa pedulinya kamu dengan daerah atau masyarakat, atau negerimu. Dampak dari hasil penelitianmu bisa merubah kebijakan, bisa merubah sistem, bisa merubah cara hidup masyarakat. Memang kewajibanmu tidak berhenti dengan melakukan penelitian saja, tapi bagaimana publikasi dari penelitianmu itu sendiri. Sejauh apa usahamu membuat hasil penelitianmu terdengar atau terlihat oleh pihak-pihak lain. Tapi posisimu yang berdiri di jalur ilmiah, akan membawa keuntungan besar. Karena tolak ukurmu ilmu pengetahuan, bukan kepentingan golongan tertentu. Ini bagiku sangat-sangat membahagiakan dan powerfull.

Jadi coba pertimbangkan lagi ya, darlings.

Tapi sebenernya, yang paling sedih melihat semua ini adalah, ketika orang yang kamu kenal secara personal dan kamu tau dia orang yang open minded, tiba-tiba jadi se close minded itu cuma gara-gara sebagai politikus dia harus memilih satu golongan tertentu. Dia harus tetep vokal menyuarakan A, walaupun aku tau dan yakin, di hati kecilnya atau di otak terdalamnya, ada opsi yang jauh lebih baik dari A. Akibatnya, aku jadi super males membuka pembicaraan yang berat kalau ketemu. Aku berusaha buka pembicaraan pisang goreng aja. Ternyata politik atau kepentingan golongan, bisa merubah orang sejauh ini ya. Sedih.




Thursday, October 18, 2018

Salah Satu Janjiku

Sehabis buka akun Rabbit Hole di Instagram, dan baru sadar kalo mereka sedang rehat sejenak, tiba-tiba aku ingat beberapa waktu yang lalu pernah nulis notes di bawah ini, dengan sangat berapi-api. Kayanya waktu itu habis baca artikel di medium yang ditulis sama salah satu psikolog anak di amerika. Artikelnya tentang curhatannya dia, betapa dia sangat khawatir dengan kehadiran gadget di hidup anak kecil. Beberapa kali ia juga mencontohkan kasus dari kliennya, yang semua bersumber dari kecanduan gadget, dan orang tua yang gagal mengawal masa-masa emas anaknya karena terlalu menyerah dengan gadget. Kira-kira, begini tulisanku, persis sehabis baca artikel itu :

ini aneh, aku tau.
tapi aku tidak bisa menutupi rasa geram, gemas dan keinginan heroikku dalam satu waktu.
sehabis membaca artikel itu,
aku berjanji.
suatu saat aku harus mampu menyaingi gegap gempitanya teknologi dengan cara yang manusiawi
aku akan menulis berbagai macam buku yang sama candunya dengan game itu
yang daya tariknya lebih hebat dari video itu
yang membuat khayalannya bisa berkelana lebih jauh dari masa kecilku
yang membuatnya tidak merasa terlalu kecil buat ukuran mimpi yang diam diam mulai terbentuk di kepalanya.
jangan tunda lagi Han.


Jadi, ingat ya Han, kamu pernah janji buat bikin buku anak-anak, yang nggak kalah bikin candunya dari game, video, dan hal lainnya yang bisa diakses melalui gadget. Jangan kelamaan nundanya Han. Cepet-cepet take action.

Tuesday, October 16, 2018

I Can Be Disappointed with People, not Life

I read some words at Diana Rikasari's blog, and i think i know something. Di saat-saat ngerasa kecewa sama keadaan sekitarku, aku harus bener-bener yakin, aku kecewa karena apa atau karena siapa. Karena aku nggak bisa pukul rata aku kecewa aja gitu, titik. Terus jadi nyalahin semuanya, nyalahin hidup, apa-apa jadi bete, bahkan jadi nggak semangat ngapa-ngapain. 

Kalau aku kecewa sama seseorang, aku punya dua pilihan buat menghadapinya. Terus interaksi sama orang itu, kalau memungkinkan ceritain kecewa karena apa, cari jalan keluar biar masalahnya selesai. Selain menghadapi langsung, aku juga punya pilihan buat meminimalisir interaksi, sampai aku bisa berdamai sama rasa kecewa itu. 

Tapi, poinku di sini adalah, kamu boleh Han kecewa sama seseorang atau keadaan, tapi kamu nggak boleh pukul rata semuanya kalau kamu kecewa sama hidupmu. Kamu tetep harus ingat, dan terus-terusan mengingat, kalau ada banyak hal lain yang berjalan sesuai atau lebih dari harapanmu. Kamu tetep harus ingat kalo sikapmu karena kamu kecewa sama sesuatu, bisa jadi penyebab orang lain kecewa sama kamu juga. Vice versa.

Walaupun lagi kecewa sama sesuatu atau seseorang, kamu tetep bisa liat friends dan ketawa tiap malem, kamu tetep bisa baca buku yang pengen kamu baca, kamu tetep bisa gegeloran siang-siang sama Mama dan Bika, kamu tetep bisa saying something nice ke driver ojol. Kamu tetep bisa ngapain aja walaupun lagi kecewa. 

Saturday, October 6, 2018

I Found You, Bung Hatta


Mungkin ini post yang terlewat personal, tolong dimaafkan. Atau post yang pertama kali terkait romansa yang pernah kutulis, sejauh yang bisa kuingat.

Malam ini, sehabis menyelesaikan buku seri Tempo tentang Bung Hatta, aku mendapatkan pencerahan sosok seperti apa yang aku anggap ideal untuk jadi teman hidupku sampai kiamat, sampai ajal menjemput.

To the point, Ya Allah, aku mau yang seperti Bung Hatta.

Akhirnya aku tau kriteria seperti apa yang aku cari, sehingga mungkin setelah ini doaku tentang teman hidup bisa lebih terfokus, hehe. Selama ini kalau ditanya, "Mau yang kaya gimana sih Han?" Bisa dipastikan aku nggak akan bisa jawab pertanyaan itu. Kriteria teman hidup masih belum berbentuk konstruk yang jelas dalam imajinasiku. Paling cuma jawab, yah ya gitu, yang baik, yang agamanya bagus lah. Tapi aku nggak bisa bilang secara spesifik seperti apa sosok yang menurutku ideal.

Sebelumnya perlu dipahami, kejelasan kriteria teman hidup yang aku dapatkan pencerahannya malam ini, tidak semena-mena harus yang spesifik seperti itu, sehingga aku cuma mau menikah dengan yang karakteristiknya persis kaya Bung Hatta. Aku percaya dan yakin, Allah akan menyandingkan aku dengan orang yang aku butuhkan, yang baik untuk hidupku di masa sekarang dan yang akan datang. Karena aku nggak bisa melihat masa depanku seperti apa, tapi Allah bisa. Aku percaya, idealku dan ideal Nya bisa jadi 180 derajat berkebalikan. Dan aku nggak punya masalah terkait itu. Aku yakin sama takdir Allah.

Tapi, dengan menemukan kriteria ideal ini, aku bagaikan menguak tabir misteri awal yang selama ini berusaha aku cari tapi belum pernah terasa pas. Ternyata, aku jatuh cinta dengan semua tabiat Bung Hatta. Hehehe

Kriteria Bung Hatta yang seperti apa? Yang piawai mengelola emosinya, peduli akan keluarganya, bisa menjaga komitmennya akan apapun, tidak haus harta dan kedudukan, agama dijunjung tinggi dalam kondisi apapun namun tidak berusaha cari panggung atau kekuasaan dengan agama, dan menghargai serta selalu haus akan ilmu pengetahuan. Dan berbagai kriteria lain yang rasa-rasanya terlalu panjang apabila dituliskan dengan komplit di sini. Tapi biarlah sekelumit kriteria positif itu mewakili apa yang paling aku cari dari sosok teman hidupku kelak.
Bung Hatta dan istrinya, Rahmi Hatta

Sekali lagi, Ya Allah aku mau yang seperti Bung Hatta. Aku tau Engkau Maha Pendengar, aku tau Engkau Sebaik-baiknya Penolong. Segera pertemukan aku dengan teman hidup kualitas seperti itu, apabila Engkau Berkehendak. Aaamiin.

Tuesday, October 2, 2018

Face to Face


Storm just coming again at my family. Beberapa hari yang lalu Mama baru ketahuan kena diabetes. Padahal sebelumnya nggak pernah terdeteksi, walaupun udah berkali-kali cek darah. Biasanya cuma ganti-ganti antara kolesterol, darah tinggi, dan asam urat, belum pernah diabetes. Kecewa? Iya. Sedih? Iya. Shocked? Iya. Dan perasaan-perasaan lain yang pasti menyertai. Ternyata responku selain berusaha biasa aja, dan bilang berkali-kali ke Mama kalo diabetes ya cuma perlu koreksi cara konsumsi aja, aku menyimpan perasaan kecewa yang besar, dan berujung pengen marah tiap Mama mulai kecil hati. Di satu sisi aku tau banget kenapa Mama beberapa hari ini kecil hati, tiba-tiba nggak mau makan apa-apa, dan ngeluh sakit perut yang aku tau penyebabnya tidak lain tidak bukan ya karena laper aja. Apalagi kakak perempuannya baru aja meninggal 1 bulan yang lalu karena diabetes. Mama pasti shocked dan rasanya nggak siap kalau harus kena diabetes juga, dengan membayangkan perjuangan di depan akan seperti apa mengacu dengan apa yang sudah dilakukan tanteku. 

Aku jadi uring-uringan, mau konsentrasi buka laptop nggak bisa lama-lama, gampang terdistraksi, rasanya cuma mau scroll hape, kalo nggak inget sama kewajiban-kewajiban yang lain. 

Tapi malam ini, barusan aja, aku berhasil ngobrol face to face sama Mama hampir dua jam-an. Ngobrolin apapun, berusaha rileks biar Mama nggak ngerasa lagi digurui, atau dicemaskan berlebihan. Aku berusaha menyamakan persepsi dengan cerita-cerita tentang kehidupan atau keadaan orang lain yang ada kaitannya sama kita berdua, terus berusaha analisis hal-hal apa yang terjadi sama orang itu, bagaimana ia mengatasi masalahnya, dan berusaha menarik yang baik untuk diterapkan esok hari, juga menjauhi hal-hal yang memang seharusnya dihindari mengingat efek samping yang ditimbulkan.

Mama mau terbuka, cerita perasaannya secara detail, dan aku pun cerita perasaanku menghadapi sikapnya Mama beberapa hari ini. Kadang kalau pembicaraan sudah ke arah yang semakin berat, aku ambil raket nyamuk agar "jumping to another topic" nya terasa tidak memaksa dan tetap smooth, sehingga Mama tetap merasa dihargai. Setelah berjalan dua jam duduk di sofa dan mengobrol panjang lebar, Mama mulai ngantuk dan ajak sholat Isya berjamaah. Dan aku merasa beban yang menggelayuti beberapa hari ini mulai sedikit terangkat. Setidaknya, kalau besok Mama tiba-tiba murung lagi, atau aku yang khawatir berlebihan sampai tidak produktif seperti beberapa hari ini, aku sudah tau obatnya. Sediain waktu buat ngobrol, buang persepsi dan dugaan-dugaan nggak penting, dan ngobrolnya harus benar-benar berkualitas tanpa distraksi dari HP atau TV. 

Sometimes, we just forget that our parent growing old too. We are acting like soo busy with our target, with the milestone that we think we need to achieve. We are so busy growing up. 

Maafin aku ya Ma, kalau sering lupa ngajak ngobrol berkualitas kaya malem ini. 

Image from pinterest, as always.


Tuesday, September 11, 2018

I Just Realize New Rhythm



Akhir-akhir ini, sehabis belajar atau membaca sesuatu, saya euforianya langsung seneng, karena seperti baru mendapatkan sesuatu yang sebelumnya tidak saya ketahui. Tapi itu seringnya tidak berlangsung lama, tiba-tiba saya merasa, "OMG, saya ternyata nggak tau apa-apa". Saya baru tau tentang hal itu, saya baru tau ternyata hal itu nyata adanya. "Ke mana aja saya selama ini?"

Trus bawaannya pengen baca banyak hal terkait hal itu, pengen eksplor lebih jauh lagi. Tapi rasanya otak masih perlu ditenangkan. Dan terkait hal baru tersebut, ada banyak hal yang berusaha saya asosiasikan, atau cari hubungannya dengan semua informasi yang sudah saya dapat sebelumnya. Ibaratnya, saya masih merangkai susunan benangnya akan seperti apa, sebelum mengambil benang yang baru. Jadi biasanya saya pause sejenak, mencerna semua informasi yang sudah saya dapat, sebelum membaca informasi baru lagi.

Tapi itu semua nggak boleh terlalu lama jedanya. Harus pas. Kalau kelamaan nunda, akhirnya rasa excited yang saya rasakan jadi pudar. Dorongan terbesar untuk eksplor sesuatu yang baru kan rasa penasaran yang menimbulkan excited. Kalau itu pudar, saya nggak punya dorongan lagi. Akhirnya jatuhnya seperti kewajiban karena sudah berjanji pada diri sendiri untuk mengkesplor hal tersebut lebih jauh.

Namun saat jeda pause tersebut pas, rasanya sungguh nikmat sekali. Excited buat cari tau lebih banyak lagi. Dengan keadaan otak yang sudah siap.

Kemudian merasa kerdil dan tidak tau apa-apa lagi. Trus jeda lagi buat mencerna semuanya pelan-pelan. Trus eksplor lagi.

Ternyata alurnya memang seperti itu, nyata adanya.

Sunday, July 8, 2018

HAL-HAL YANG AKU PIKIRKAN DIAM-DIAM


All image from pinterest. As always, ah i love you pinterest!

Thursday, May 24, 2018

Meninggalkan 25

Dear Hana, do you remember everytime you write a birthday wishes for someone, you always write : please remember, age is just a number. And now? You're talking with your self about age. How silly you are?

I need butterfly hug right now. And telling my self, everything not gonna be okay, but its still okay. I promise.

Semua terlihat menyeramkan ya Han, dan seolah-olah semua itu lagi lari marathon ke kamu. But, you grow up. Kalau biasanya kamu niat nulis blog ini karena emang ada yang pengen di tulis, coba liat malem ini. Kamu buka blog ini karena uda nggak kuat liat SPSS. Karena semangatmu timbul tenggelamnya uda nggak konsisten. Karena ini malam ramadhan yang hening dan nyamuk dimana-mana, jadi kamu butuh sesuatu pengalihan dari aktivitas mengeluh dan menggerutu karena nyamuk.

Its sign of grow up Han. You act different, you think different from before.

Dear Hana, do you realize that your curious about vulnerability its because you are? Karena kamu lagi akrab dengan hal-hal itu saat ini? Karena kamu merasa semua ini bisa agak ringan dengan vulnerability yang coba kamu lakuin diam-diam?

Kecelakaan waktu itu, deadline non stop, urusan kasus sampai penelitian, harapan dan kemudian ikhlas melepaskan? Belum lagi urusan di masa lalu yang baru kamu tau? Ditambah kenyataan dari lingkaran paling dekatmu sendiri?

Ya Allah, kenapa aku serapuh ini sih? Kenapa jadi kaya gini cara aku ngomong sama diri sendiri? Biasanya polanya selalu, habis keluhan ada pemakluman dan penguatan? hehe. Ini kenapa keluhan semua? Ini kenapa lemah semua?

This year, this age, too hard for me, ya Allah. Saking beratnya, aku sampe sering ngerasa nggak mampu, tapi pura-pura mampu, dan akhirnya mengamati diri sendiri waktu coba ngehadepin itu semua. Aku mengobservasi diriku sendiri. Its beautiful?

Umur 25 yang selalu aku takutkan, yang aku harap-harap cemas kan, ternyata aku lewati setengah sadar. Mungkin ini bentuk doaku diijabah. Umur 25 berjalan wuush. Tapi waktu noleh ke belakang, rasanya kaya, Ya Allah kekuatan apa yang Kau beri sampe aku bisa ngelewatin semua ini?

Dan apakah aku berlebihan Ya Allah kalau aku meminta kekuatan sekali lagi? Mungkin lebih hebat dari kekuatan sebelumnya, karena rasanya di depan akan semakin sulit lagi. Tapi aku akan ingat hari-hari kelabu di umur 25 ini. Bahwa di umur itu, Engkau dengan segala takdirmu, sudah memaksa aku buat keluar dari tempurungku berkali-kali. Menarikku buat berani menghadapi kenyataan. Mengajari aku bagaimana caranya menertawakan kehidupan dan menjadi kuat di saat yang bersamaan. Membuat banyak peristiwa yang membuatku lebih banyak berpikir tentang apa yang harus aku perjuangkan sampai mati-matian di hidup ini, dan apa yang nggak perlu.

Buat emosi yang tertunda hampir 6 jam saat itu, buat hasil CT scan yang nggak bisa-bisa ke print, buat memori di ruang tindakan IGD, buat kemacetan Jakarta yang hampir buat aku gila, buat obrolan di dapur yang bagai petir keras di siang bolong, buat validasi dari curiga sejak bertahun-tahun silam, buat kereta api yang delay sampe 4 jam lamanya, buat tangisan di kamar mandi rumah sakit yang sebentar tapi sangat menyakitkan, buat tatapan kasihan dari semua orang yang datang, buat Kunto Aji yang duduk kursi depanku, buat hibernasi paling lama yang pernah aku lakuin, buat tangisan di antara rak lemari, buat mimpi-mimpi yang datang silih berganti, buat obrolan yang hangat di beberapa malam, terimakasih ya. Ada banyaak sekali hal yang aku pelajari dari situ. Kalau moment itu datang lagi, semoga aku lebih siap, sigap, dan nggak salah langkah lagi.


Sunday, April 1, 2018

Boost My Self Esteem


Hidup ini berat. Totally agree. Tiap hari kita selalu bertaruh sama banyak hal, sama ketakutan-ketakutan kita sendiri, sama tantangan di depan mata yang sama sekali belum ada clue nya, sama kenyataan yang nggak seindah harapan, sama mimpi-mimpi yang kayanya ketinggian tapi pengen banget terwujud. Dan masih banyaaaak hal lainnya. Berat ya?

Self esteem itu rasa percaya akan diri kita sendiri, seberapa besar kita menghargai diri sendiri buat melakukan banyak hal. Dari hal-hal yang kita yakin kita bisa, sampai hal-hal yang buat ngebayanginnya aja kita takut. Nah, masalahnya self esteem ini naik turun. Tugas kita buat terus ngejaga self esteem diri kita masing-masing, biar nggak terlalu rendah banget. Kenapa? karena naikinnya pasti butuh effort yang besar. Dan belum tentu bisa setinggi atau kembali seperti semula, kalau down nya terlalu jauh. 

I have some techniques for boost my self esteem. Kadang cuma dengan berdiri depan cermin, dan ngomong ke diri sendiri kalo hari ini akan berjalan dengan baik. Kadang olahraga habis-habisan, buat memanipulasi otak, kalau-kalau saya nggak percaya diri karena ngerasa perut buncit banget. Ada banyaak hal. Kadang ngefek, kadang juga nggak. Kadang saya nggak inget kalau itu ngefek, bahkan kadang saya nggak sadar kalo self esteem saya lagi rendah. Yah, namanya juga manusia. 

But, i just realise something. When my self esteem going down, i always feel warm talks with my mom about everything that i have past since i was a kid. 

Biasanya, saya akan mulai pembicaraan dengan membahas satu kejadian di masa lalu yang berat bagi saya, misalnya "Mah, inget nggak waktu aku nangis telpon Mama seminggu sebelum UAN SMA?" Dari situ pembicaraan berlanjut, Mama tanya dan konfirmasi ulang, kenapa kok sampai nangis kaya gitu, masalahnya waktu itu apa. Padahal, saya yakin Mama masih inget dengan jelas alasannya kenapa. Kemudian saya akan tanya waktu itu apa yang saya lakuin, kenapa dengan keraguan sebesar itu saya tetep bisa ngejalanin UAN SMA dengan lancar? Lucu ya, saya yang ngelakuin, tapi saya tanya ke Mama. 

Memang, biasanya tiap ada rintangan, Mama pasti ngasih kepercayaan penuh sama anak-anaknya buat ngatasin sendiri. Di akhir, berhasil ataupun gagal ngelewatin rintangan itu, harus setor cerita ke Mama dengan cukup komplit. Upayanya apa saja waktu itu, halangannya apa saja, waktu downnya gimana, waktu berhasil rasanya gimana. Jadi Mama dengan mudahnya menceritakan ulang apa saja yang sudah saya lakuin waktu itu. Daaan, it works. Ngobrol 10 menit, self esteem saya langsung naik berlipat-lipat. 

Berkali-kali saya ngelakuin itu, tapi saya baru sadar sekarang. Sebesar itu manfaatnya buat saya, dan saya lebih memahami diri saya sendiri, kalau tiba-tiba buka obrolan terkait hal itu ke Mama, berarti saat itu saya merasa tidak percaya diri. Saya butuh dikuatkan dengan cerita-cerita Mama tentang apa yang sudah saya lakukan saat menghadapi situasi yang tidak menyenangkan. Tentang cerita saya menghadapi kesulitan, gagal, ataupun berhasil. Mama bagaikan kotak rahasia kehidupan yang menyimpan semua cerita saya dan adek-adek saya. Dan dengan mudahnya membuat pertanyaan-pertanyaan yang membantu saya memahami diri saya sendiri. 

Ya Allah, nikmat terbesar dalam hidup saya, punya Mama seperti Mama. Alhamdulillaah. 

image from pinterest, as always. 

Sunday, March 18, 2018

THIS KINDA NIGHT

Perasaan campur aduk setelah ketemu banyak teman lama rasa saudara selama seharian penuh. Ketawa, makan, ngobrolin banyak hal, update kabar dan kesibukan, ngasih semangat, dikasih semangat, ndengerin rahasia, cerita rahasia, dan pembicaraan ekstra panjang terkait gelisah pendamping di umur yang super aneh ini. Sedih, seneng, ikutan pengen marah, pengen nangis, excited mau ketemu dan sedih mau pisah. Biasanya aku butuh waktu 2-3 hari buat menetralisir, meyakinkan dan menenggelamkan diri ke dalam rutinitas seperti biasa lagi. Karena perasaan ini sungguh kaya, penuh syukur, dan banyak doa yang aku sisipkan diam-diam.

Terimakasih Ya Allah, temenku baik-baik banget,
Terimakasih Ya Allah, lingkaran pertemananku sehat dan saling menguatkan,
Terimakasih Ya Allah, sudah menggerakkan hati Mama dan Baba buat nyekolahin di sana,
Ya Allah plis jangan cepet malem aku masih mau ketawa-ketawa bodoh yang menyenangkan,
Ya Allah jagain mereka,
Ya Allah lancarkan rezeki mereka,
Ya Allah lancarkan pula jodohnya.

Terimakasih diriku yang mau meluangkan waktu 5 menit buat update posting ini, karena moment ini sungguh kaya dan sayang sekali kalau tidak dikristalkan dalam bentuk tulisan. Terimakasih ya Allah, buat semuanya. Sleep tight, Han.

Sunday, February 18, 2018

MY FAV QUOTE FOR NOW


image from pinterest, as always

Thursday, February 15, 2018

Overconsuming, Always Always Always Not Healthy

Saya percaya dengan apapun yang kita konsumsi hari itu, harus seimbang dengan output yang akan kita hasilkan. Ini berlaku untuk semua-muaaaanyaa. Konsumsi untuk tubuh (makanan - minuman), harus dikeluarkan, baik dalam bentuk tenaga, keringat, air seni, ataupun hasil metabolisme tubuh lainnya. Konsumsi untuk otak, bisa apapun yang kita dengar, kita baca, kita lihat, harus seimbang dengan apa yang kita hasilkan. Bisa dalam bentuk apa saja, tulisan, obrolan, gambar, masakan, apapun. Asal balance. Kuncinya, seninya, susahnya, ya itu tadi. Buat semuanya balance, in-out. Kualitas outputnya pun juga akan sangat tergantung dengan inputnya. Jangan sampai, garbage in-garbage out. Atau yang lebih parah, garbage in terus-terusan, nggak ada outputnya sama sekali. 


Baru-baru ini, asumsi dan kepercayaan saya di atas terbukti. Hampir dua minggu lebih ini, saya overconsuming. Makanan, minuman, tontonan, bacaan, apapun. Hasilnya? Saya kaya nggak punya kendali atas hidup saya sendiri dan sakit kepala, semacam pusing tapi bukan pusing (lah?), trus sering ling-lung. Hahahaha. Trus setelah diskusi singkat dengan Mba Uci, oh mungkin karena ada bagian otak yang biasanya dipake ekstra keras buat produce something, eh tiba-tiba dihentikan. Bagian itu kaya disuruh tidur sementara, dan yang dipake cuma bagian otak yang lain, monoton berhari-hari. Pantas aja, rasanya pusing dan eneg banget, hahaha. 

Saya hampir beberapa hari ini liat youtube non stop, baca line today, scrolling instagram, baca ibook (currently reading : Big Magic, its so good OMG), dengerin podcast, liat Netflix Chefs Table, liat TV, dan makan apapun yang ada di kulkas, minum kopi sachet (duh!) dan konsumsi makanan-minuman lain yang saya tau situ nggak bagus buat diri saya. Rasanya saya nggak punya kendali sama diri saya sendiri. Seperti lingkaran yang nggak ada putusnya, dan saya pun nggak tau gimana cara mutusnya dan keluar dari kebiasaan nggak sehat ini. 

Mungkin bagi kalian yang baca, punya pikiran kaya, Lah itu baca buku, dengerin podcast kan bagus Han? kalau makanan-minuman iya sih emang nggak sehat, tapi kalo yang konsumsi buat otak kan bagus? 

Yes, i know. You right. Tapi kalau itu semua dilakuin secara terus menerus, nggak ada output yang dihasilkan, sama aja. Kaya numpuk semua informasi di otak, tanpa diolah. Semakin numpuk-numpuk dan numpuk, sampai akhirnya pusing nggak tau harus mengurai sedemikan banyak informasi itu kaya gimana, dan dalam bentuk apa. Tapi udah tau nggak enak, tetep aja dilakuin. OMG, whats happen with you, Han?

So, i try to cut those circle with write this post, and make me believe that i can do yoga everytime i want, without video tutorial. I try to collect my recipe, the old one or my dream recipe that i always want to make someday. I try to list some food and drink that good for my body and how to consume it properly. Semoga pelan-pelan, saya bisa mengurangi overconsume yang sangat meresahkan ini. Dan semoga kita semua diberi kepekaan buat sadar kalo kita over consume, dan segera punya kendali penuh lagi akan hidup kita sendiri. Cheers! 

Image from pinterest

Saturday, January 20, 2018

Home


Hampir sebulan lamanya aku ambil keputusan buat bener-bener tinggal di rumah. Pergi dari rumah dan pulang ke rumah setiap hari. Rasanya aneh, harus adaptasi dengan berbagai hal. Rasanya menyenangkan dan hangat, karena setiap pulang (dari manapun dan jam berapapun), ada Mama yang nunggu sambil ketiduran di atas sofa. Rasanya capek, karena nggak bisa leyeh-leyeh dan nggak beresin tempat tidur properly selama berhari-hari, seperti biasanya. Mama nggak akan berhenti ngomel kalau liat aku acuh sama sesuatu yang nggak "beres" atau nggak sesuai dengan standarnya. Rasanya super aneh, waktu kamu tau nggak ada lagi tempat buatmu tinggal, mandi, makan dan tidur selain di sini. Maklum biasanya aku tinggal di dua tempat, di kosan / asrama dan rumah, jadi ada dua versi rumah dalam hidupku. Rasanya nggak bisa berhenti bersyukur, waktu setelah salam sholat shubuh Mama langsung tanya, mau dibekelin apa. Rasanya overwhelmed, karena harus basa basi sama tetangga sekitar dan naikin level ramah mendekati level ramahnya Mama, setiap jalan mau ke minimarket. So complicated. 

Tapi setelah dipikir-pikir, ini kesempatan yang diberikan Allah dan nggak dateng dua kali. Bisa serumah, ketemu pagi, sore dan malem sama Mama, kadang juga ada Baba, dalam keadaan mereka berdua sehat dan mulai tergantung sama aku. I feel like im the most important person in their life. And i can't stop gratefull. Alhamdulillah

Saturday, January 6, 2018

Hal-Hal yang Terlalu Berat Untuk Dibicarakan


Ini hari di awal tahun yang terlalu berat buat aku. Tadi pagi, kedua adikku yang sudah dua minggu ini tidur, makan, ejek-ejekkan, dan maraton nonton serial sama aku, pulang ke tempat masing-masing. Rumah jadi sepi. Tinggal aku sama Mama, dan masalah kita masing-masing. Untungnya tadi pagi Bela telpon hampir 1,5 jam, telepon tentang kehidupan. Selalu melegakan setelah ngobrol panjang sama teman lama, selalu. Masih ada beberapa tanggungan laporan yang harus aku kerjakan. Ada banyak halaman yang masih harus aku tulis. Dan aku ada di tempat yang baru, bukan di kamar kosan, atau di meja dapur kosan seperti biasanya. Aku masih cari spot untuk mengerjakan laporan dan buka laptop yang terbaik di rumah. Adaptasi selalu membutuhkan waktu ya, tapi sering kali kita nggak sabar dan tergoda untuk membanding-bandingkan dengan tempat lama.

Setelah Mama sampai rumah, ada perasaan berat dan nggak enakan kalau harus di depan laptop. Rasanya nggak sopan, rasanya gimana gitu. Mungkin efek sejak SMP nggak di rumah. Nggak ada definisi belajar atau ngerjain tugas yang literally bener-bener tugas di rumah. Semua terjadi di Assalaam atau di kamar kosan. Rumah itu buat tidur, buat ngobrol, buat makan enak, buat kumpul sama keluarga, bukan buat nugas. Tapi sekarang aku harus belajar lebih tepatnya memaksa diri buat nugas di rumah, karena uda nggak ngekos lagi. 

Trus selesai Sholat Ashar, ketika sudah masuk waktu ngeteh atau ngopi sore sama Mama, dimulailah pembicaraan yang berat ini. Obrolan yang awalnya santai, dan tetap aku kira santai hingga selesai. Namun setelahnya, aku baru sadar kalau energiku tersedot habis, aku lemes, dan nggak bisa fokus sama sekali buat balik nugas. Aku rasanya pengen banget ngeluhin banyak hal, membandingkan diri sama orang lain, sama keluarga lain, menyesali banyak hal di masa lalu, dan ngerasa kerdil. Rasanya pembicaraan tadi sama Mama nggak perlu dibuka dan jangan pernah diobrolin dalam hari yang berat seperti sekarang ini. Salah timing. Ada perasaan lega, setidaknya kita menyamakan frekuensi. Tapi efeknya bener-bener nggak aku harapin muncul di tengah-tengah tanggungan laporan seperti sekarang. Terlalu berat, terlalu menyiksa. 

Tapi tiba-tiba aku ingat kalau aku merasa sangat kerdil karena aku dari tadi lupa nggak ngitung banyaknya nikmat Allah yang memang nggak terhitung. Aku lupa bersyukur. Aku terlalu sibuk mengeluh dan merasa ini cobaan yang sungguh berat. Padahal nikmat yang sudah diberikan Allah ke dalam hidupku, ke dalam keluargaku, tidak terhitung. Dan aku mulai istighfar banyak-banyak, trus mulai ajak otakku pelan-pelan buat berpikir ke arah yang positif, ngeliat semuanya dari sisi positif dulu, bukan sebaliknya. Trus aku semakin sadar ada banyak sekali yang perlu aku syukuri, banyaaak sekali. 

Dan aku menyadari beberapa hal. Pertama, kalau misalnya obrolan itu terlalu berat, jangan dibahas dalam sekali momen minum teh. Pelan-pelan, semampunya kamu. Kedua, kalau misalnya masalah itu memang tidak ada manfaatnya, atau kecil sekali manfaatnya untuk dibahas, alias kamu nggak bisa melakukan apa-apa untuk merubah hal itu ke arah yang lebih baik setelah membahasnya habis-habisan, stop jangan dibahas. Terakhir, asah terus kemampuan humormu, karena itu akan menyelamatkan ketika tiba-tiba pembicaraan hening, menggantung di tengah-tengah ruangan yang sepi. Jangan sampai kehabisan gaya, jangan sampai kehabisan kata. Apalagi kalau lawan bicaranya Mamamu sendiri.


Sekian, selamat malam.

Image from pinterest. 
< > Home
Powered by Blogger.
Passion Journal © , All Rights Reserved. BLOG DESIGN BY Sadaf F K.