Saturday, January 20, 2018

Home


Hampir sebulan lamanya aku ambil keputusan buat bener-bener tinggal di rumah. Pergi dari rumah dan pulang ke rumah setiap hari. Rasanya aneh, harus adaptasi dengan berbagai hal. Rasanya menyenangkan dan hangat, karena setiap pulang (dari manapun dan jam berapapun), ada Mama yang nunggu sambil ketiduran di atas sofa. Rasanya capek, karena nggak bisa leyeh-leyeh dan nggak beresin tempat tidur properly selama berhari-hari, seperti biasanya. Mama nggak akan berhenti ngomel kalau liat aku acuh sama sesuatu yang nggak "beres" atau nggak sesuai dengan standarnya. Rasanya super aneh, waktu kamu tau nggak ada lagi tempat buatmu tinggal, mandi, makan dan tidur selain di sini. Maklum biasanya aku tinggal di dua tempat, di kosan / asrama dan rumah, jadi ada dua versi rumah dalam hidupku. Rasanya nggak bisa berhenti bersyukur, waktu setelah salam sholat shubuh Mama langsung tanya, mau dibekelin apa. Rasanya overwhelmed, karena harus basa basi sama tetangga sekitar dan naikin level ramah mendekati level ramahnya Mama, setiap jalan mau ke minimarket. So complicated. 

Tapi setelah dipikir-pikir, ini kesempatan yang diberikan Allah dan nggak dateng dua kali. Bisa serumah, ketemu pagi, sore dan malem sama Mama, kadang juga ada Baba, dalam keadaan mereka berdua sehat dan mulai tergantung sama aku. I feel like im the most important person in their life. And i can't stop gratefull. Alhamdulillah

Saturday, January 6, 2018

Hal-Hal yang Terlalu Berat Untuk Dibicarakan


Ini hari di awal tahun yang terlalu berat buat aku. Tadi pagi, kedua adikku yang sudah dua minggu ini tidur, makan, ejek-ejekkan, dan maraton nonton serial sama aku, pulang ke tempat masing-masing. Rumah jadi sepi. Tinggal aku sama Mama, dan masalah kita masing-masing. Untungnya tadi pagi Bela telpon hampir 1,5 jam, telepon tentang kehidupan. Selalu melegakan setelah ngobrol panjang sama teman lama, selalu. Masih ada beberapa tanggungan laporan yang harus aku kerjakan. Ada banyak halaman yang masih harus aku tulis. Dan aku ada di tempat yang baru, bukan di kamar kosan, atau di meja dapur kosan seperti biasanya. Aku masih cari spot untuk mengerjakan laporan dan buka laptop yang terbaik di rumah. Adaptasi selalu membutuhkan waktu ya, tapi sering kali kita nggak sabar dan tergoda untuk membanding-bandingkan dengan tempat lama.

Setelah Mama sampai rumah, ada perasaan berat dan nggak enakan kalau harus di depan laptop. Rasanya nggak sopan, rasanya gimana gitu. Mungkin efek sejak SMP nggak di rumah. Nggak ada definisi belajar atau ngerjain tugas yang literally bener-bener tugas di rumah. Semua terjadi di Assalaam atau di kamar kosan. Rumah itu buat tidur, buat ngobrol, buat makan enak, buat kumpul sama keluarga, bukan buat nugas. Tapi sekarang aku harus belajar lebih tepatnya memaksa diri buat nugas di rumah, karena uda nggak ngekos lagi. 

Trus selesai Sholat Ashar, ketika sudah masuk waktu ngeteh atau ngopi sore sama Mama, dimulailah pembicaraan yang berat ini. Obrolan yang awalnya santai, dan tetap aku kira santai hingga selesai. Namun setelahnya, aku baru sadar kalau energiku tersedot habis, aku lemes, dan nggak bisa fokus sama sekali buat balik nugas. Aku rasanya pengen banget ngeluhin banyak hal, membandingkan diri sama orang lain, sama keluarga lain, menyesali banyak hal di masa lalu, dan ngerasa kerdil. Rasanya pembicaraan tadi sama Mama nggak perlu dibuka dan jangan pernah diobrolin dalam hari yang berat seperti sekarang ini. Salah timing. Ada perasaan lega, setidaknya kita menyamakan frekuensi. Tapi efeknya bener-bener nggak aku harapin muncul di tengah-tengah tanggungan laporan seperti sekarang. Terlalu berat, terlalu menyiksa. 

Tapi tiba-tiba aku ingat kalau aku merasa sangat kerdil karena aku dari tadi lupa nggak ngitung banyaknya nikmat Allah yang memang nggak terhitung. Aku lupa bersyukur. Aku terlalu sibuk mengeluh dan merasa ini cobaan yang sungguh berat. Padahal nikmat yang sudah diberikan Allah ke dalam hidupku, ke dalam keluargaku, tidak terhitung. Dan aku mulai istighfar banyak-banyak, trus mulai ajak otakku pelan-pelan buat berpikir ke arah yang positif, ngeliat semuanya dari sisi positif dulu, bukan sebaliknya. Trus aku semakin sadar ada banyak sekali yang perlu aku syukuri, banyaaak sekali. 

Dan aku menyadari beberapa hal. Pertama, kalau misalnya obrolan itu terlalu berat, jangan dibahas dalam sekali momen minum teh. Pelan-pelan, semampunya kamu. Kedua, kalau misalnya masalah itu memang tidak ada manfaatnya, atau kecil sekali manfaatnya untuk dibahas, alias kamu nggak bisa melakukan apa-apa untuk merubah hal itu ke arah yang lebih baik setelah membahasnya habis-habisan, stop jangan dibahas. Terakhir, asah terus kemampuan humormu, karena itu akan menyelamatkan ketika tiba-tiba pembicaraan hening, menggantung di tengah-tengah ruangan yang sepi. Jangan sampai kehabisan gaya, jangan sampai kehabisan kata. Apalagi kalau lawan bicaranya Mamamu sendiri.


Sekian, selamat malam.

Image from pinterest. 
< > Home
Powered by Blogger.
Passion Journal © , All Rights Reserved. BLOG DESIGN BY Sadaf F K.