Tuesday, October 16, 2018

I Can Be Disappointed with People, not Life

I read some words at Diana Rikasari's blog, and i think i know something. Di saat-saat ngerasa kecewa sama keadaan sekitarku, aku harus bener-bener yakin, aku kecewa karena apa atau karena siapa. Karena aku nggak bisa pukul rata aku kecewa aja gitu, titik. Terus jadi nyalahin semuanya, nyalahin hidup, apa-apa jadi bete, bahkan jadi nggak semangat ngapa-ngapain. 

Kalau aku kecewa sama seseorang, aku punya dua pilihan buat menghadapinya. Terus interaksi sama orang itu, kalau memungkinkan ceritain kecewa karena apa, cari jalan keluar biar masalahnya selesai. Selain menghadapi langsung, aku juga punya pilihan buat meminimalisir interaksi, sampai aku bisa berdamai sama rasa kecewa itu. 

Tapi, poinku di sini adalah, kamu boleh Han kecewa sama seseorang atau keadaan, tapi kamu nggak boleh pukul rata semuanya kalau kamu kecewa sama hidupmu. Kamu tetep harus ingat, dan terus-terusan mengingat, kalau ada banyak hal lain yang berjalan sesuai atau lebih dari harapanmu. Kamu tetep harus ingat kalo sikapmu karena kamu kecewa sama sesuatu, bisa jadi penyebab orang lain kecewa sama kamu juga. Vice versa.

Walaupun lagi kecewa sama sesuatu atau seseorang, kamu tetep bisa liat friends dan ketawa tiap malem, kamu tetep bisa baca buku yang pengen kamu baca, kamu tetep bisa gegeloran siang-siang sama Mama dan Bika, kamu tetep bisa saying something nice ke driver ojol. Kamu tetep bisa ngapain aja walaupun lagi kecewa. 

Saturday, October 6, 2018

I Found You, Bung Hatta


Mungkin ini post yang terlewat personal, tolong dimaafkan. Atau post yang pertama kali terkait romansa yang pernah kutulis, sejauh yang bisa kuingat.

Malam ini, sehabis menyelesaikan buku seri Tempo tentang Bung Hatta, aku mendapatkan pencerahan sosok seperti apa yang aku anggap ideal untuk jadi teman hidupku sampai kiamat, sampai ajal menjemput.

To the point, Ya Allah, aku mau yang seperti Bung Hatta.

Akhirnya aku tau kriteria seperti apa yang aku cari, sehingga mungkin setelah ini doaku tentang teman hidup bisa lebih terfokus, hehe. Selama ini kalau ditanya, "Mau yang kaya gimana sih Han?" Bisa dipastikan aku nggak akan bisa jawab pertanyaan itu. Kriteria teman hidup masih belum berbentuk konstruk yang jelas dalam imajinasiku. Paling cuma jawab, yah ya gitu, yang baik, yang agamanya bagus lah. Tapi aku nggak bisa bilang secara spesifik seperti apa sosok yang menurutku ideal.

Sebelumnya perlu dipahami, kejelasan kriteria teman hidup yang aku dapatkan pencerahannya malam ini, tidak semena-mena harus yang spesifik seperti itu, sehingga aku cuma mau menikah dengan yang karakteristiknya persis kaya Bung Hatta. Aku percaya dan yakin, Allah akan menyandingkan aku dengan orang yang aku butuhkan, yang baik untuk hidupku di masa sekarang dan yang akan datang. Karena aku nggak bisa melihat masa depanku seperti apa, tapi Allah bisa. Aku percaya, idealku dan ideal Nya bisa jadi 180 derajat berkebalikan. Dan aku nggak punya masalah terkait itu. Aku yakin sama takdir Allah.

Tapi, dengan menemukan kriteria ideal ini, aku bagaikan menguak tabir misteri awal yang selama ini berusaha aku cari tapi belum pernah terasa pas. Ternyata, aku jatuh cinta dengan semua tabiat Bung Hatta. Hehehe

Kriteria Bung Hatta yang seperti apa? Yang piawai mengelola emosinya, peduli akan keluarganya, bisa menjaga komitmennya akan apapun, tidak haus harta dan kedudukan, agama dijunjung tinggi dalam kondisi apapun namun tidak berusaha cari panggung atau kekuasaan dengan agama, dan menghargai serta selalu haus akan ilmu pengetahuan. Dan berbagai kriteria lain yang rasa-rasanya terlalu panjang apabila dituliskan dengan komplit di sini. Tapi biarlah sekelumit kriteria positif itu mewakili apa yang paling aku cari dari sosok teman hidupku kelak.
Bung Hatta dan istrinya, Rahmi Hatta

Sekali lagi, Ya Allah aku mau yang seperti Bung Hatta. Aku tau Engkau Maha Pendengar, aku tau Engkau Sebaik-baiknya Penolong. Segera pertemukan aku dengan teman hidup kualitas seperti itu, apabila Engkau Berkehendak. Aaamiin.

Tuesday, October 2, 2018

Face to Face


Storm just coming again at my family. Beberapa hari yang lalu Mama baru ketahuan kena diabetes. Padahal sebelumnya nggak pernah terdeteksi, walaupun udah berkali-kali cek darah. Biasanya cuma ganti-ganti antara kolesterol, darah tinggi, dan asam urat, belum pernah diabetes. Kecewa? Iya. Sedih? Iya. Shocked? Iya. Dan perasaan-perasaan lain yang pasti menyertai. Ternyata responku selain berusaha biasa aja, dan bilang berkali-kali ke Mama kalo diabetes ya cuma perlu koreksi cara konsumsi aja, aku menyimpan perasaan kecewa yang besar, dan berujung pengen marah tiap Mama mulai kecil hati. Di satu sisi aku tau banget kenapa Mama beberapa hari ini kecil hati, tiba-tiba nggak mau makan apa-apa, dan ngeluh sakit perut yang aku tau penyebabnya tidak lain tidak bukan ya karena laper aja. Apalagi kakak perempuannya baru aja meninggal 1 bulan yang lalu karena diabetes. Mama pasti shocked dan rasanya nggak siap kalau harus kena diabetes juga, dengan membayangkan perjuangan di depan akan seperti apa mengacu dengan apa yang sudah dilakukan tanteku. 

Aku jadi uring-uringan, mau konsentrasi buka laptop nggak bisa lama-lama, gampang terdistraksi, rasanya cuma mau scroll hape, kalo nggak inget sama kewajiban-kewajiban yang lain. 

Tapi malam ini, barusan aja, aku berhasil ngobrol face to face sama Mama hampir dua jam-an. Ngobrolin apapun, berusaha rileks biar Mama nggak ngerasa lagi digurui, atau dicemaskan berlebihan. Aku berusaha menyamakan persepsi dengan cerita-cerita tentang kehidupan atau keadaan orang lain yang ada kaitannya sama kita berdua, terus berusaha analisis hal-hal apa yang terjadi sama orang itu, bagaimana ia mengatasi masalahnya, dan berusaha menarik yang baik untuk diterapkan esok hari, juga menjauhi hal-hal yang memang seharusnya dihindari mengingat efek samping yang ditimbulkan.

Mama mau terbuka, cerita perasaannya secara detail, dan aku pun cerita perasaanku menghadapi sikapnya Mama beberapa hari ini. Kadang kalau pembicaraan sudah ke arah yang semakin berat, aku ambil raket nyamuk agar "jumping to another topic" nya terasa tidak memaksa dan tetap smooth, sehingga Mama tetap merasa dihargai. Setelah berjalan dua jam duduk di sofa dan mengobrol panjang lebar, Mama mulai ngantuk dan ajak sholat Isya berjamaah. Dan aku merasa beban yang menggelayuti beberapa hari ini mulai sedikit terangkat. Setidaknya, kalau besok Mama tiba-tiba murung lagi, atau aku yang khawatir berlebihan sampai tidak produktif seperti beberapa hari ini, aku sudah tau obatnya. Sediain waktu buat ngobrol, buang persepsi dan dugaan-dugaan nggak penting, dan ngobrolnya harus benar-benar berkualitas tanpa distraksi dari HP atau TV. 

Sometimes, we just forget that our parent growing old too. We are acting like soo busy with our target, with the milestone that we think we need to achieve. We are so busy growing up. 

Maafin aku ya Ma, kalau sering lupa ngajak ngobrol berkualitas kaya malem ini. 

Image from pinterest, as always.


Tuesday, September 11, 2018

I Just Realize New Rhythm



Akhir-akhir ini, sehabis belajar atau membaca sesuatu, saya euforianya langsung seneng, karena seperti baru mendapatkan sesuatu yang sebelumnya tidak saya ketahui. Tapi itu seringnya tidak berlangsung lama, tiba-tiba saya merasa, "OMG, saya ternyata nggak tau apa-apa". Saya baru tau tentang hal itu, saya baru tau ternyata hal itu nyata adanya. "Ke mana aja saya selama ini?"

Trus bawaannya pengen baca banyak hal terkait hal itu, pengen eksplor lebih jauh lagi. Tapi rasanya otak masih perlu ditenangkan. Dan terkait hal baru tersebut, ada banyak hal yang berusaha saya asosiasikan, atau cari hubungannya dengan semua informasi yang sudah saya dapat sebelumnya. Ibaratnya, saya masih merangkai susunan benangnya akan seperti apa, sebelum mengambil benang yang baru. Jadi biasanya saya pause sejenak, mencerna semua informasi yang sudah saya dapat, sebelum membaca informasi baru lagi.

Tapi itu semua nggak boleh terlalu lama jedanya. Harus pas. Kalau kelamaan nunda, akhirnya rasa excited yang saya rasakan jadi pudar. Dorongan terbesar untuk eksplor sesuatu yang baru kan rasa penasaran yang menimbulkan excited. Kalau itu pudar, saya nggak punya dorongan lagi. Akhirnya jatuhnya seperti kewajiban karena sudah berjanji pada diri sendiri untuk mengkesplor hal tersebut lebih jauh.

Namun saat jeda pause tersebut pas, rasanya sungguh nikmat sekali. Excited buat cari tau lebih banyak lagi. Dengan keadaan otak yang sudah siap.

Kemudian merasa kerdil dan tidak tau apa-apa lagi. Trus jeda lagi buat mencerna semuanya pelan-pelan. Trus eksplor lagi.

Ternyata alurnya memang seperti itu, nyata adanya.
< > Home
Powered by Blogger.
Passion Journal © , All Rights Reserved. BLOG DESIGN BY Sadaf F K.