Monday, July 20, 2020

Identify My New Feeling Through This Post





Hi there, sampai sekarang aku masih bertanya-tanya tentang apa yang aku rasain dari kemarin. Bapak Sapardi meninggal dunia, dan aku jadi gampang sekali menangis tiap browsing twitter atau instagram terus ketemu postingan foto, cerita kebaikan hatinya, atau sebait puisi-puisi terkenalnya. 

It's kinda weird. Aku nggak kenal beliau secara langsung, nggak pernah secara khusus ketemu juga. Tapi kenapa waktu aku denger kabar beliau meninggal, rasanya sesedih ini ya? Apa selama ini secara tidak aku sadari, Pak Sapardi, sosoknya ataupun karyanya begitu bermakna dalam hidupku? Kenapa? Kenapa aku bisa sesedih ini?

I do love and admire him since.. i dont know, maybe for 10 years ago? Tapi bukan ngefans yang sampe gimana gitu, aku seneng sama cara beliau menulis, kesederhanaan kata yang ia pilih. Karya-karyanya bahkan ada yang bisa aku hafal selayaknya menghafal lirik lagu. Aku follow beliau di instagram dan twitter, seneng tiap liat postingan beliau dan selalu diam-diam mendoakan tiap liat foto atau postingannya, "Sehat-sehat Eyang, sehat terus". Sesekali komen di Instagram mendoakan kesehatannya. Aku juga tau betapa fleksibelnya beliau ketika berada di tengah-tengah anak muda, bahkan beberapa kali membuat buku bersama. Tapi aku nggak terlalu tertarik dengan itu. Yah bisa dibilang aku bukan hardcore fans yang apapun karyanya berusaha aku koleksi. Jadi kenapa aku bisa merasa begitu kehilangan? Bahkan nulis ini pun masih dengan air mata berlinang. 

Ya Allah sudah 3 paragraf tapi aku juga belum tau kenapa. 

Bagiku, Pak Sapardi ini layaknya kakek-kakek pujangga keren, wujud nyata dari gambaran pujangga di masa tua versi imajinasiku selama ini. Bahkan aku beberapa kali nge twit, Pak Sapardi ini sosok nyata, mendekati ideal, dari seorang kakek yang aku inginkan. Aku tumbuh tanpa peran seorang kakek, sedangkan aku cukup dekat dengan nenekku. Jadi sosok Pak Sapardi ini bisa dibilang wujud nyata yang menggambarkan kakek kebanggaanku, yang bisa aku bawa ke teman-teman dan aku ajak nongkrong bareng mereka. I love and admire his adaptation skill. 

Tapi kenapa ya aku juga merasa puisi Pak Sapardi ini bisa menjelma masuk ke diriku layaknya pelukan atau elusan kasih sayang dari kakek, dari teman, dari pujangga cinta yang mungkin sering aku dengar malam-malam sebelum tidur. Beberapa bait puisinya yang aku hapal mungkin secara nggak sadar keluar masuk kepalaku waktu aku lagi putus cinta, lagi jatuh cinta, lagi mengenal diri sendiri, waktu mellow, waktu butuh bahan untuk menggali emosi-emosi terdalamku.

Mungkin juga aku begitu merasa kehilangan karena sosok Pak Sapardi ini sangat sederhana, dari karyanya ataupun gaya hidupnya, tutur bicaranya, pilihan-pilihan baju dan kata-katanya. Dan itu konsisten. Apa yang bisa kita bayangkan dari bait puisinya, menjelam menjadi diri Pak Sapardi itu sendiri. Searah, authentic kalo bahasa leadershipnya. 

Sedangkan bagiku konsisten dari segi karya dan kehidupan pribadi adalah suatu hal yang maha dahsyat dan aku jadikan pegangan hidup. Pak Sapardi menang telak di situ. 

Oh iya, beliau juga akademisi. Selama ini agak sulit mematahkan pikiran atau asumsiku bahwa pekerja seni itu ya nggak mungkin bisa searah dengan hal-hal berbau akademisi. Ternyata Pak Sapardi mematahkan itu. Beliau mantan dekan, profesor pula. Karyanya nggak cuma puisi, tapi juga buku akademisi atau teori. You are perfect,  Eyang.

Mendengar dia meninggal itu rasanya begitu menyakitkan mungkin karena nggak banyak yang bisa memenuhi kualitas dan menunjukkan konsistensi sebaik Pak Sapardi bagiku. 

Rasa kehilangan buat aku nggak cuma nggak bisa melihat postingan kegiatan Pak Sapardi, tapi mengikhlaskan sosok kakek ideal yang nggak pernah aku punya juga ikut pergi. 

Selain itu mungkin karena seni, apapun itu bentuknya, adalah panggilan hatiku yang terus-terusan memanggil tapi selalu aku kesampingkan, kehilangan Pak Sapardi mengingatkanku juga dengan betapa lamanya aku absen dalam aktivitas-aktivitas seni yang selama ini aku sukai. 

I don't know, i still figuring out. Tahapan griefing sampe ke proses acceptance memang panjang sekali. But at least, I write what's on my mind and my heart through this post. 

Terimakasih Pak Sapardi, terimakasih atas karyamu, terimakasih atas sosok dan konsistensimu. Terimakasih sudah mewakili dengan nyata sosok manusia ideal yang bisa aku bayangkan, terutama untuk menjadi kakek. Istirahat dengan tenang, Eyang. 
< > Home
Powered by Blogger.
Passion Journal © , All Rights Reserved. BLOG DESIGN BY Sadaf F K.