Monday, August 16, 2021

Coffee and Me

Hana beserta love and hate nya sama kopi. Complicated relationship. 

Proses trial error berkali-kali, pause jeda lama kemudian kangen, dan perjalanan mengalahkan hawa nafsu serta merasa cukup. 


Kompleks. 

Hubunganku sama kopi, nggak akan pernah sederhana. Seperti minuman dengan tenggorokan. Ada ekspektasi besar dari dalam diriku akan kopi. Ada beban besar yang ia tanggung setiap kali aku seduh. 

Browsing bermenit-menit via aplikasi, mencoba peruntungan kemungkinan diskon dan harga jadi fantastis. Kemudian menyerah, atau menang? Dengan menutup aplikasi, dan jalan ke dapur mau bikin kopi sendiri. 

Ada berjenis-jenis kopi di rumah. Mulai dari kopi robusta, nescafe classic, kopi sachet, kopi rempah khas arab, kopi dari berbagai daerah di Indonesia. Lengkap, nggak kurang. 

Bahan pemanisnya juga ada, mulai dari gula aren semut, gula merah, gula putih, gula tanpa kalori, sampe krimer. You name it. 

Kamu cukup Han, apa yang kamu punya sekarang lebih dari cukup. 


Energi dan semangat membara yang kamu harapkan muncul, sesekali juga jangan dibebankan 100% ke kopi seduhanmu. Ada banyak faktor lain, ada proses tidur cukup, olahraga, kena sinar matahari, makan makanan bergizi seimbang, proses metabolisme lancar, emosi terkelola dengan baik.

Kemudian aku bertanya, dimana letak kopi? Di list pertama. Di list keinginan, tapi bukan kebutuhan utama. 

It's good to have a wonderful cup of coffee, but it's great to build other habits too. 


Belum lagi berjam-jam yang aku habiskan untuk melihat alat-alat canggih tapi rumahan untuk membuat kopi. Update kapan barang itu diskon. Atau berjam-jam aku browsing dan bandingin resep bikin kopi mirip kopi kenangan. Trus (terburu-buru) mau coba ikutin resepnya, yang kadang mirip sampe mau nangis, kadang nggak. 

Kupikir-pikir, nikmatnya kopi kenangan tuh ada di proses jalan turun lift, ngobrol sama Putri sampe outletnya, liat orang-orang sibuk ama HP nya sambil antre, liat mas-masnya bikin kopi, kemudian kopi kita jadi, dan seruputan pertama. Nah itu puncak nikmatnya. 

After that? Kalau grafik nih, mulai menurun nikmatnya sepertinya. 

(OMG, panjang juga tulisan saporadis dan impromptu tentang kopi ini)

But after that, please berusahalah untuk mencintai kopi sewajarnya. Nggak perlu kasih ekspektasi berlebihan, karena nanti mulai muncul benci, yang bersumber dari ekspektasimu itu. 

Selamat Senin!💕


Monday, August 9, 2021

Let's Talk About a Dream

 Hi there.. 

Tiba-tiba kemarin weekend dapet insight ini, dan seperti biasa, berusaha menuliskannya di sini. 

So, i think i need to renew my definition about dream. Sejauh ini, aku selalu mengidentikkan mimpi dengan pencapaian akademis atau finansial. And i just realized, ternyata faktor pendorong aku punya mimpi terkait itu, lebih banyak dipengaruhi oleh faktor tidak memilikinya saat ini. Plus beberapa butir kecemasan dan ketakutan juga menjadi pendorong kenapa aku jadiin hal tersebut mimpi. 

Oh wait, mimpi di sini yang aku maksud lebih ke cita-cita ya. Bukan mimpi setiap hari waktu kita tidur. 

Lanjut.

Jadi menurutku, wajar banget kalo mimpi kita bergeser. Menyesuaikan dengan apa yang kita harapkan, atau apa yang sedang tidak kita miliki saat ini, atau motivasi dari perasaan takut tadi. Takut apa? Mungkin dulu aku takut nggak berdaya secara finansial, masih tergantung sama orang tua, atau justru takut nggak bisa penuhin kebutuhan orang tua kedepannya. Buat aku, cara yang paling mungkin untuk mengejar finansial tadi ya lewat sekolah. Akademis cukup penting, tapi buat aku ini hanya salah satu alat yang mungkin bisa aku pakai untuk memenuhi kebutuhan finansialku.

Nah, itu sepertinya alasan kenapa aku nggak pernah terlalu ambi dalam akademis. Kaya uda ayo kerahkan semua usaha dan coba apapun yang kamu bisa, belajar dari orang A-B, lewat buku ini itu, semua cobain. Tapi apakah mimpiku menjadi terbaik di bidang akademis? Nggak. 

Mimpiku terkait finansial tadi ternyata. Something bitter that i just realized too.


But somehow, walaupun aku baru menyadarinya, sepertinya mimpi itu uda mulai bergeser lagi. 

Menikah, struggling buat juggling kerjaan dan tugas domestik tiap hari, plus menghadapi pasangan sekarang mulai jadi sesuatu yang aku takuti juga. Jadi, memiliki keluarga, pasangan, tubuh, dan waktu yang prima mulai menduduki klasemen puncak list mimpiku. Finansial mulai bergeser, meskipun tetap salah satu goals.

Dulu, terkait keluarga aku nggak pernah ada masalah. Keluargaku cukup hangat dan jadi andalan banget buat semua kebutuhan periode hidupku. Tapi membangun keluarga, beda lagi ceritanya. 

Hmm, I don't know what I am talking about, but yeah.. I hope Hana in the next year can give us a better explanation about this. 


Wednesday, June 2, 2021

Life Update ver. 29

 Hei, look at you Han.. 

Duduk di lantai, ditemenin laptop, ringlight, dan kipas angin. 
Di kampung antah berantah, nggak kenal siapapun, kecuali suamimu. 

Barang belum di unpack berceceran di lantai. 
You didn't expect this scenario. But, life is so funny and full of surprises. 

Do you like it? 

Sakit tipes dan nggak ada makanan yang bisa dimakan kecuali bolen dan bubur SUN beras merah. Tentu saja, kamu bakal pilih bubur SUN. 

Sambil berharap nggak masuk angin dan punya kekuatan super buat beresin semua barang. Oh tentu saja, mengandalkan madu mahal yang uda dibeli kemarin sebagai tolak punggung kesehatan. Egois sekali Hana ini. 

Kasian si madu, menanggung beban berat. Kalau mau sembuh, ya tau batasan. Tau apa aja yang harus dibangun secara konsisten. Bukan instant dengan si madu. 

Tapi hidup kan emang seringnya selucu ini ya Han?
Meninggalkan 28 sebentar lagi. Umur yang aneh, semua terjadi tiba-tiba. 
Siapa sangka, di umur 29 aku akan jadi ibu-ibu yang mau nggak mau dateng PKK untuk bertahan hidup dan beradaptasi di kampung ini? Who knows? 

Nggak papa, skill buat memulai hidup dari titik 0 berkali-kali jadi skill yang mahal banget sekarang ini. Hang on there, semua akan baik-baik aja. You will get your life together. 


Sunday, May 23, 2021

Trying to: Interpret My Own Dream

 Hi there, besok Senin (again). Dan daripada bersusah payah tidur tanpa terlalu banyak kekhawatiran, aku memilih untuk me-list down all my feelings about the dream last night. 


Tadi malam, aku mimpi ketemu Hana kecil. Hana di umur 3-4 tahun. Belum punya adik, tapi uda teges banget jawab pertanyaan orang lain. 

Btw, ini bukan pertama kalinya aku bertemu diriku sendiri versi kecil di mimpi. Sebelumnya aku pernah ketemu Hana kecil di usia SD, mungkin sekitar kelas 4-5 SD. Nangis di dalem kelas, dan aku nonton dari jendela kelas sambil ikut nangis juga. Mimpi yang aneh, tapi waktu itu nggak sempet nulis detail. Padahal sebenernya waktu bangun dari tidur perasaannya super campur aduk. 

Nah agar kejadian serupa tidak terulang kembali, kali ini coba nulis dengan cukup detail mimpi ku semalem. Ideally, aku nulis ini panjang lebar tadi pagi, waktu baru bangun. Untuk menghindari bias memori. Tapi nggak papa lah ya, daripada nggak sama sekali. 

Di awal mimpi, aku masih inget duduk di tengah-tengah ruang tamu khas keluarga arab. Lesehan, pakai karpet tebel dan bantal-bantal kotak. Tiba-tiba Mama masuk ruangan itu sambil gandeng Hana kecil. Mukanya Hana kecil cenderung datar, pakai baju santai (seingetku kaos dan celana pendek), rambutnya keriting agak merah. 

Semua orang menyambut dan mempersilahkan Hana kecil ketemu aku. Aku yang awalnya bingung, memilih untuk menyapa seperti aku biasanya aja ketemu anak kecil. Dia cium tanganku. Kemudian orang-orang yang ada di ruangan itu mulai menjelaskan (berlomba-lomba menjelaskan) tentang Hana kecil ke aku, dan sebaliknya. Aku ketawa dan senyum-senyum aja. 

Ada beberapa percakapan yang aku inget, terkait adik dan profesi. 

Aku tanya ke Hana kecil: Han, kamu punya dua adik ya?
Hana kecil: Hah? Nggak, aku nggak punya adik. 
Aku jelasin lagi: Oh iya ya, belum lahir adiknya, bentar lagi ada Han. Namanya ini dan ini. 
Hana kecil: Oh gitu, kamu kenal?
(kemudian semua orang di satu ruangan itu ketawa)

Terkait profesi
Aku: Han, kalau gede ntar pengen jadi apa?
Hana kecil: Dokter!! (jawabnya lantang, teges)
Aku: Oh iya? Kenapa? Nggak mau yang lain?
Hana kecil: Iya kata Mama, aku cocok jadi dokter
Aku: Oh gitu, tapi gedenya ternyata kamu jadi psikolog Han, bahkan nggak ada keinginan kuliah kedokteran
Hana kecil: Psikolog? Apa itu?
Aku: (ketawa), iya Han, susah jelasinnya. Tapi kamu kayanya enjoy kok. 


Ada momen aku dan Hana kecil pelukan juga. Dan ada momen aku menatapnya dengan penuh kekaguman.

Dan hari ini, full aku habiskan untuk menginterpretasi mimpi itu. 
Kenapa ya? Apa maknanya?

Apa pesan yang berusaha disampaikan tubuhku atau alam tidak bawah sadarku ke aku?


Monday, March 8, 2021

Facing Monday Blues

Starting the rhytim on Monday morning always challenging for me. Terlebih selama WFH. Rasanya too much, banyak sekali yang harus dibereskan. 


Rasanya kaya jatoh dari Sabtu dan Minggu yang melenakan. Jatoh keras, terus diminta buat lari cepet lagi. Task dan to do list tiba-tiba jadi panjang kali lebar. Dan bingung harus mulai dari mana. So, I think it will be great if I start by writing on this blog first. 

Sometimes, writing in a journal (book) vs. writing on this blog gives me a different "after effect". I still don't know how to precise those feelings in more detail, but I know it is different.

Oh, blog, you know, I can trackback my habit, my feelings, my curiosity, my thought, or basically anything from you. I am so glad that I have you. Little Hana, Adolescence Hana, Not too Mature Hana, and Nowadays Hana (not sure am I mature enough?) always can count on you. 

19 days to go. Bismillah. 



Oh wait, can I start counting to the day on this blog? Should I?

Or

It is my unconscious mind try to push me and make me realize that I will have another role, another task in 19 days ahead?


Friday, February 19, 2021

Too Much Too Handle

Rush, deadline, annoying call or meeting, too much on my list kinda day. Sometimes I feel too much and wanna give up. But, after all.. I know that I work on myself and doing something that I like since the beginning. 


Maybe I need to slow down first. But 35 days to go. Can I?




Tuesday, January 26, 2021

Anger & Disappointed

Dua bentuk emosi yang sampe sekarang pun aku masih susah banget buat kelola in proper way. You know, perasaan ini kan bisa jadi muncul karena ada big issue yang tiba-tiba datang, atau bisa jadi kumpulan dari emosi-emosi sebelumnya yang belum selesai kita cerna. Tulisan ini dedikasikan buat diriku sendiri yang baru saja menangkap fenomena baru dalam merespon dua emosi tersebut. 

Sebuah usaha untuk memahami diriku lebih dalam, dan validasi emosi serta respon lebih jauh.

Semakin bertambahnya umur (ceilah), dua bentuk emosi ini, marah dan kecewa, sering kali berubah bentuk atau nebeng ke emosi-emosi lain, atau malah munculnya dengan volume yang nggak ketebak. Kadang tipis-tipis, kadang super bold. 

Kenapa ya? Apa karena kita berusaha kontrol emosi ini buat nggak "up" terlalu sering, atau kita yang mulai berdamai sama yang namanya ekspektasi? (konon ekspektasi adalah sumber atau trigger yang paling besar akan dua bentuk emosi ini- at least for me). 

Selain itu, aku juga baru sadar kalau respon yang aku tampilkan ketika merasakan emosi ini nggak bisa terus menerus sama. Begini misalnya, kadang aku marah dan yang aku lakuin adalah nangis diam-diam. Di kamar mandi atau depan laptop dengan bantuan playlist yang tepat. Tapi kemarin aku menyadari kalo "nangis" gitu aja nggak melegakan seperti biasanya. Muncul keinginan untuk menunjukkan ke semua orang kalau aku kecewa, aku marah, dan berharap mereka menyadari itu. Aku pengen menunjukkan respon supaya mereka notice kalo ini suatu hal yang besar, berdampak, dan aku nggak nyaman ada di posisi ini. 

Sebelum-sebelumnya, nangis diam-diam uda jadi senjata ampuh untuk mengeluarkan amarah. Nangis diam-diam dan menulis jurnal panjang lebar. Berusaha memetakan sumber kecewa atau amarahku, memahami pain pointnya dimana. Tapi untuk kejadian kemarin, senjata ini ternyata perlu di upgrade sedikit. Atau justru downgrade?

Bingung karena ternyata efek leganya tetap ada. Lega setelah "do something" yang akhirnya orang-orang sekitarku tau aku bener-bener nggak nyaman, kecewa dan marah. Mungkin ada sedikit perasaan di "betray" nya juga. 

"Do something" di sini bukan dengan lempar barang atau intonasi suara yang naik banget, bukan. Tapi dengan ngelakuin itu ternyata aku "berhasil" (mungkin) memperjelas posisiku, proyeksiin betapa kecewanya aku. 

I don't know. Tapi yang jelas aku masih perlu berusaha mengelola dua bentuk emosi ini lebih canggih lagi. Aku mau coba cari tau dulu. 

< > Home
Powered by Blogger.
Passion Journal © , All Rights Reserved. BLOG DESIGN BY Sadaf F K.