Saturday, January 6, 2018

Hal-Hal yang Terlalu Berat Untuk Dibicarakan


Ini hari di awal tahun yang terlalu berat buat aku. Tadi pagi, kedua adikku yang sudah dua minggu ini tidur, makan, ejek-ejekkan, dan maraton nonton serial sama aku, pulang ke tempat masing-masing. Rumah jadi sepi. Tinggal aku sama Mama, dan masalah kita masing-masing. Untungnya tadi pagi Bela telpon hampir 1,5 jam, telepon tentang kehidupan. Selalu melegakan setelah ngobrol panjang sama teman lama, selalu. Masih ada beberapa tanggungan laporan yang harus aku kerjakan. Ada banyak halaman yang masih harus aku tulis. Dan aku ada di tempat yang baru, bukan di kamar kosan, atau di meja dapur kosan seperti biasanya. Aku masih cari spot untuk mengerjakan laporan dan buka laptop yang terbaik di rumah. Adaptasi selalu membutuhkan waktu ya, tapi sering kali kita nggak sabar dan tergoda untuk membanding-bandingkan dengan tempat lama.

Setelah Mama sampai rumah, ada perasaan berat dan nggak enakan kalau harus di depan laptop. Rasanya nggak sopan, rasanya gimana gitu. Mungkin efek sejak SMP nggak di rumah. Nggak ada definisi belajar atau ngerjain tugas yang literally bener-bener tugas di rumah. Semua terjadi di Assalaam atau di kamar kosan. Rumah itu buat tidur, buat ngobrol, buat makan enak, buat kumpul sama keluarga, bukan buat nugas. Tapi sekarang aku harus belajar lebih tepatnya memaksa diri buat nugas di rumah, karena uda nggak ngekos lagi. 

Trus selesai Sholat Ashar, ketika sudah masuk waktu ngeteh atau ngopi sore sama Mama, dimulailah pembicaraan yang berat ini. Obrolan yang awalnya santai, dan tetap aku kira santai hingga selesai. Namun setelahnya, aku baru sadar kalau energiku tersedot habis, aku lemes, dan nggak bisa fokus sama sekali buat balik nugas. Aku rasanya pengen banget ngeluhin banyak hal, membandingkan diri sama orang lain, sama keluarga lain, menyesali banyak hal di masa lalu, dan ngerasa kerdil. Rasanya pembicaraan tadi sama Mama nggak perlu dibuka dan jangan pernah diobrolin dalam hari yang berat seperti sekarang ini. Salah timing. Ada perasaan lega, setidaknya kita menyamakan frekuensi. Tapi efeknya bener-bener nggak aku harapin muncul di tengah-tengah tanggungan laporan seperti sekarang. Terlalu berat, terlalu menyiksa. 

Tapi tiba-tiba aku ingat kalau aku merasa sangat kerdil karena aku dari tadi lupa nggak ngitung banyaknya nikmat Allah yang memang nggak terhitung. Aku lupa bersyukur. Aku terlalu sibuk mengeluh dan merasa ini cobaan yang sungguh berat. Padahal nikmat yang sudah diberikan Allah ke dalam hidupku, ke dalam keluargaku, tidak terhitung. Dan aku mulai istighfar banyak-banyak, trus mulai ajak otakku pelan-pelan buat berpikir ke arah yang positif, ngeliat semuanya dari sisi positif dulu, bukan sebaliknya. Trus aku semakin sadar ada banyak sekali yang perlu aku syukuri, banyaaak sekali. 

Dan aku menyadari beberapa hal. Pertama, kalau misalnya obrolan itu terlalu berat, jangan dibahas dalam sekali momen minum teh. Pelan-pelan, semampunya kamu. Kedua, kalau misalnya masalah itu memang tidak ada manfaatnya, atau kecil sekali manfaatnya untuk dibahas, alias kamu nggak bisa melakukan apa-apa untuk merubah hal itu ke arah yang lebih baik setelah membahasnya habis-habisan, stop jangan dibahas. Terakhir, asah terus kemampuan humormu, karena itu akan menyelamatkan ketika tiba-tiba pembicaraan hening, menggantung di tengah-tengah ruangan yang sepi. Jangan sampai kehabisan gaya, jangan sampai kehabisan kata. Apalagi kalau lawan bicaranya Mamamu sendiri.


Sekian, selamat malam.

Image from pinterest. 

No comments:

Post a Comment

< > Home
Powered by Blogger.
Passion Journal © , All Rights Reserved. BLOG DESIGN BY Sadaf F K.