Thursday, November 15, 2018

To Change The World, You Don't Need To Be A Politician, Darling

Ini minggu-minggu demam tesis, demam politik yang semakin heboh, demam duka di negeri ini yang datang terus menerus. Ada beberapa hal yang aku cermati, terutama melihat geliat anak muda dalam kancah perpolitikan.

Menurutku, bagus lah kalau anak muda mau say something dan do something yang dia yakini bener. Dari pada cuma ngomong doang, atau diem aja apatis.

Baguslah kalo anak muda punya cita-cita besar buat negaranya. Buat bangun daerahnya. Bagus banget.

Tapi sedih juga kalo ternyata politik dianggap jadi satu-satunya kendaraan buat mewujudkan itu semua. No baby, no.

Ada hal lain, ada kendaraan lain, yang mungkin efeknya ga secepet politik, tapi lebih nyata. Ada.

Di sisi lain, aku tau sih, pengusaha yang sukses, uda sukses banget lah, bisnis menggurita, pasti ada rasa kosong yang berusaha ia penuhi lewat jalur politik. Waktu kebutuhannya akan duit dan kestabilan bisnis sudah di tangan, muncul kebutuhan baru, kekuasaan. Kebutuhan buat punya power yang besar.

Sejujurnya aku bisa lebih memahami dan memaklumi kalau posisinya seperti itu.

Tapi, kalo tiba-tiba kamu pengen terjun ke politik, dengan semua idealis hidup, angan-angan besar buat negeri ini. Coba pertimbangkan lagi.

Ada banyak opsi lain buat mewujudkan semua keinginanmu itu. Ada jalur wirausaha, akademisi, atau entertaiment dan yang lainnya.

Tapi, karena angan-anganmu besar, ingin membangun daerah, merubah sistem, membangun Indonesia, dan the list go on, kamu nggak bisa jadi pengusaha yang biasa aja, sekedar akademisi, atau jadi artis youtube misalnya.

Jadi pengusaha, atau entrepreneur yang punya impact besar, buka lapangan kerja yang besar, kualitasmu sebagai CEO atau si empunya dengan visi, nilai atau cara menjalani hidup juga harus kamu tularkan ke karyawanmu. Buat budaya organisasi yang bagus, buat bisnis yang manfaatnya besar buat masyarakat. Bayangin aja, misalnya kamu usaha jual ayam tepung gerobakan, karyawan sampe 50 orang di tahun pertama, kamu buat sistem yang melatih mereka buat disiplin dan jujur dalam bekerja. Gajinya layak, ada tunjangan pendidikan buat anak-anaknya, kerja sama dengan lembaga pendidikan yang se-visi denganmu. Bayangkan, dari 50 pegawai, bisa-bisa kamu ikut merubah hidup tidak hanya 50 orang tapi 50 keluarga. Bapaknya jujur dan disiplin, bisa fokus kerja, anak-anaknya dapat layanan pendidikan terbaik. Youre the real hero, darling.

Impactmu nyata, langsung ke action, itu tahun pertama 50 keluarga, bayangkan kalo bisnis ayam tepung nya semakin besar, tahun ke lima sampe 500 pegawai, berarti ada 500 keluarga yang terbantu dengan apa yang kamu lakukan. Dibandingkan dengan jadi politikus misalnya, buat sampe ke posisi yang diincar, mungkin perlu kampanye atau buat personal branding 2-3 tahun. Setelah itu, kamu duduk di kursi parlemen atau pemerintahan, benerin birokrasi sesuai anganmu (itu pun kalau belum tergerus kanan kiri ya), trus menunggu dampak dari birokrasi baru tersebut. Bisa-bisa 5 tahun waktu menjabat, efeknya belum terasa.

Kalau bilang probabilitas sih ya, bener dua-duanya sulit. Dua-duanya harus melewati jalan berduri.

Bisnis nggak bisa langsung tiba-tiba sukses, iya lah.
Politikus nggak bisa langsung tiba-tiba terkenal dan duduk di parlemen, iya lah.

Tapi bentuk-bentuk idealis dan angan-angan besar itu menurutku lebih mungkin tercapai lewat jalur wirausaha dengan impact seperti cerita di atas. Jadi politikus, ranjau yang dihadapi jauh lebih banyak, ditunggangi banyak pihak, rentan tergerus kepentingan lainnya.

Jadi wirausaha, kamu punya hak penuh buat bikin sistem sendiri, bikin aturan sendiri, mengatur impact yang mau kamu timbulkan sebesar apa.

Belum lagi opsi lainnya, jadi akademisi tangguh dan berprinsip misalnya. Kamu bisa melakukan penelitian, mencari penyebab atau efek dari sesuatu kejadian, dengan menegakkan prinsip-prinsip ilmiah. Ada data, ada perhitungan yang bisa dipertanggungjawabkan, hasil penelitian memang nggak semuanya terbukti dan bisa diaplikasikan buat masyarakat langsung. Tapi kamu berada di jalur ilmiah, nggak cuma sekedar opini. Posisimu kuat. Tergantung sejeli apa kamu melihat celah untuk penelitian, dan tujuan penelitianmu. Seberapa pedulinya kamu dengan daerah atau masyarakat, atau negerimu. Dampak dari hasil penelitianmu bisa merubah kebijakan, bisa merubah sistem, bisa merubah cara hidup masyarakat. Memang kewajibanmu tidak berhenti dengan melakukan penelitian saja, tapi bagaimana publikasi dari penelitianmu itu sendiri. Sejauh apa usahamu membuat hasil penelitianmu terdengar atau terlihat oleh pihak-pihak lain. Tapi posisimu yang berdiri di jalur ilmiah, akan membawa keuntungan besar. Karena tolak ukurmu ilmu pengetahuan, bukan kepentingan golongan tertentu. Ini bagiku sangat-sangat membahagiakan dan powerfull.

Jadi coba pertimbangkan lagi ya, darlings.

Tapi sebenernya, yang paling sedih melihat semua ini adalah, ketika orang yang kamu kenal secara personal dan kamu tau dia orang yang open minded, tiba-tiba jadi se close minded itu cuma gara-gara sebagai politikus dia harus memilih satu golongan tertentu. Dia harus tetep vokal menyuarakan A, walaupun aku tau dan yakin, di hati kecilnya atau di otak terdalamnya, ada opsi yang jauh lebih baik dari A. Akibatnya, aku jadi super males membuka pembicaraan yang berat kalau ketemu. Aku berusaha buka pembicaraan pisang goreng aja. Ternyata politik atau kepentingan golongan, bisa merubah orang sejauh ini ya. Sedih.




No comments:

Post a Comment

< > Home
Powered by Blogger.
Passion Journal © , All Rights Reserved. BLOG DESIGN BY Sadaf F K.